INSPIRASI
untuk membuat artikel ini terbit setelah penulis terlibat diskusi
dengan beberapa teman dari luar Aceh. Mereka mempertanyakan esensi
rutinitas keseharian masyarakat Aceh yang sering dihabiskan di warung
kopi. Malas kah orang Aceh?. Pertanyaan ini tentu penting untuk dijawab.
Secara pribadi, penulis yang juga salah satu pelanggan warung kopi
melihat bahwa “komunikasi” di warung kopi saat ini dengan segala
topiknya merupakan dinamika yang mengindikasikan bahwa disana telah
terbentuk berbagai diskursus (wacana) peradaban Aceh yang belum jelas
arahnya kemana.
Di
era kontemporer ini, warung kopi di Aceh dengan segala tradisinya tak
ubahnya laksana miniatur terkecil wajah kehidupan rakyat Aceh. Hiruk
pikuk keseharian sebagian besar elemen masyarakat Aceh hampir tidak
pernah terlepas dari persentuhan langsung dengan warung kopi. Hal ini
tentu menarik untuk dikaji. Warung kopi telah menjadi center atau pusat
perkumpulan beragam komunitas masyarakat Aceh yang mengawali beragam
aktifitas dan rutinitas kesehariannya pada berbagai lini.
Sementara
di masa lalu, warung kopi yang kebanyakan didirikan di samping mesjid
merupakan ‘rahim’ yang melahirkan sistem kultural yang partisipatorik
dan iklim positif dalam kehidupan masyarakat Aceh yang akhirnya turut
serta menanam saham peradaban Islam di Aceh yang tersohor hingga ke
seluruh penjuru dunia. Bila azan berkumandang, maka bergegaslah mereka
berbondong-bondong ke mesjid, bila telah datangnya waktu ’pangajian’
niscaya mereka pun meninggalkan warung kopi menuju tempat pengajian
untuk belajar ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum lainnya, bila ada
permasalahan-permasalahan maka akan didiskusikan di warung-warung kopi
dengan segala etika untuk kemudian akan dibawa ke mesjid jika dirasa
didapatnya jalan buntu untuk menyelesaikannya. Maka itu, kita akan
menjumpai banyak warung kopi yang posisinya berdekatan dengan mesjid.
Jika
kita amati, ternyata hampir semua komponen masyarakat Aceh bisa kita
katakan menjadi pelanggan setia warung kopi. Mulai dari pegawai,
pelajar/mahasiswa, aktivis-aktivis pergerakan, para elit parpol, kaum
agamawan(teungku-teungku/ustazd) dan sebagainya. Selain itu, hampir tak
ada persoalan klasik maupun kekinian masyarakat Aceh yang tidak
dibicarakan di sini. Bahkan, di desa-desa, warung kopi merupakan pusat
informasi warga. Inilah sepintas gambaran warung kopi yang dirasa bagai
sub sistem dalam kehidupan kontemporer rakyat Aceh. Selain itu, pasca
tsunami lima tahun yang lalu, kini kita telah menyaksikan fenomena baru,
sebagian masyarakat kita khususnya dari kalangan
pelajar/mahasiswa,warung kopi laksana rumah kedua bagi mereka. Tak elok
dirasa jika melewati hari tanpa nongkrong di warunng kopi. Bahkan, kini
kaum hawa pun terlihat semakin terbiasa kita saksikan menjadi penghuni
kursi-meja di warung kopi.
Nah,
fenomena kesibukan masyarakat Aceh di warung kopi ini dalam analisa
saya telah dijadikan sebagai potret kehidupan rakyat Aceh bagi orang
luar. Sehingga menghasilkan aneka penilaian dari tatapan siapapun yang
memandang Aceh. Dari banyak wawancara yang penulis lakukan dengan
masyarakat luar Aceh, baik komunikasi dan perjumpaan langsung maupun
lewat dunia maya. Terungkap, bahwa sebagian di antara mereka memandang
dan meyakini bahwa menjamurnya warung kopi di Aceh sebagai “simbol
kemalasan” masyarakat Aceh. Apalagi ditunjang oleh fakta bahwa warung
kopi di Aceh tak pernah sepi pelanggannya meski di jam kerja sekalipun;
jam 08 hingga jam 14.00 siang, bahkan hingga sore dan sampai larut
malam.
Mereka
mempertanyakan; kapan orang Aceh bekerja jika terus-terusan sibuk di
warung kopi?, atau, kapan para mahasiswa “belajar” jika dari pagi sampai
sore dan berlanjut ‘nonton bola’ hingga larut malam di warung kopi?.
Selain itu, sebagian masyarakat Aceh juga memilki pandangan yang sama
bahwa warung kopi merupakan “sombol kemalasan”.
Namun
demikian, saya meyakini bahwa rutinitas keseharian masyarakat Aceh yang
banyak dihabiskan di warung kopi pada dasarnya merupakan sebuah energi
positif yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sebagai sebuah entitas yang
peradabannya pernah dikenal dunia. Eksisnya ‘diskusi-diskusi’ ringan di
warung kopi adalah sebagian diantara alasan saya. Banyak teman saya
yang mengakui bahwa mereka ‘banyak sekali’ mendapatkan inspirasi, ide
maupun gagasan-gagasan berawal dari diskusi ringan di warung kopi,
bahkan ada yang berlanjut menjadi suatu yang spektakuler, semisal
diskusinya berakhir dengan berdirinya sebuah parpol, berdirinya penerbit
buku, berbagai macam model usaha, dan sebagainya.
Apapun
pandangan orang luar terhadap tradisi minum kopi kita orang Aceh adalah
sah-sah saja. Namun, perlu ada kajian yang lebih dalam untuk
membuktikan tradisi kita di warung kopi adalah hal yang positif. Dari
beberapa hasil survey kecil-kecilan yang penulis lakukan, terungkap
beberapa orientasi penghuni warung kopi di Aceh, misalnya; ke warung
kopi sekedar candu ie kupi, cari internet gratis, nonton bola, sekedar
nongkrong, berkumpul dengan teman-teman sejawat, rekan kerja dan
sebagainya. Disini terlihat bahwa tradisi minum kopi ini telah membentuk
sebuah kultur budaya yang tidak jelas arahnya kemana, berbeda dengan
tradisi di masa lalu yang seperti yang penulis sebutkan di paragraf
pertama, dimana tradisi minum kopi masyarakat Aceh ketika itu pada
akhirnya menjadi cikal bakal bagian dari lahirnya peradaban Aceh yang
elegan dan memiliki nilai sosial yang kuat.
Dari
aspek historis, ternyata tradisi minum kopi di Aceh sudah ada sejak
masa kerajaan Islam Aceh. Sebagian sejarawan meyakini tradisi ini
merupakan budaya imporan dari Dinasti Turki Usmani(Khilafah Islamiyah)
yang saat itu juga memiliki tradisi yang sama. Kita ketahui bahwa
Kerajaan Islam Aceh Darussalam dahulu memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kekhalifahan Islam Turki Usmani, hubungan erat ini pula yang
akhirnya menyebabkan terjadinya asimilasi(percaburan) budaya. Tradisi
minum kopi masyarakat Aceh di era sekarang ini merupakan bagian dari
pertemuan Aceh dengan peradaban lama Turki Usmani yang Islam ketika itu,
maka sangat relevan bila kemudian penulis memilki inisiatif bagaimana
agar pengaruh dari tradisi minum kopi di Aceh kita kembalikan ruhnya
sebagai titik tolak bagaimana melihat perdaban Aceh masa depan berkaca
pada peradaban awal Aceh yg telah bersentuhan dengan Turki Usmani
sebagai ’Kekhalifahan Islam’ di masa lalu.
Dengan
demikian, tradisi minum kopi dengan segala topik komunikasinya mestinya
bisa diarahkan ke dalam wacana peradaban impian Aceh di masa depan
dengan tetap berlandaskan pada frame (kerangka) dasar nilai-nilai Islam.
Hal ini tentu sangat mudah dilakukan, mengingat fasilitas warung kopi
di Aceh yang semakin lengkap setelah mayoritas warung kopi di Aceh
menyediakan fasilitas internet(Wi-Fi) gratis bagi para pelanggan yang
dengannya berbagai informasi penting bisa sangat mudah dan cepat
didapatkan. Dengan ini, remaja-remaja Islam di Aceh bisa melihat dunia
dari meja warung kopi. Mereka juga tidak memiliki kendala jika hendak
beribadah di warung kopi, sebab, meskipun saat ini warung kopi di Aceh
didirikan jauh dari mesjid namun disana menyediakan mushalla. Begitu
juga diskusi-diskusi yang sangat berkembang disana mestinya bisa lebih
terarah ke hal-hal yang positif dan produktif, jadi warung kopi bukan
lagi sebatas tempat nongkrong menghabiskan waktu pada hal-hal yang tidak
bermanfaat, apalagi jika ke warung kopi hanya untuk huru-hara bersorak
tanpa makna yang bahkan justru menyemaratkan Aceh sebagai serambi Mekah
yang sedang membangun peradaban Islam baru. Dengan mengembalikan kembali
ruh tradisi ’warung kopi’ kita seperti sedia kala, niscaya berbagai
persepsi miring orang luar yang selama ini memandang warung kopi sebagai
’simbol kemalasan’ akan terbantahkan dengan sendirinya, jika ’tidak’
mungkin persepsi miring tadi akan menjadi fakta yang tak akan pernah
terbantahkan. Wallahu a’lam bisshawab. | Teuku Zulkhairi |
====================
Produk-produk CNI telah terkenal sebagai produk-produk bermutu tinggi baik dari segi manfaat maupun kualitasnya. Sebagai bukti komitmen CNI pada kualitas, CNI telah memiliki sistem Jaminan Kepuasan Konsumen (JKK).
Produk CNI adalah “Produk Kualitas Menengah Atas, Harga Menengah Bawah”
Untuk info & Pemesanan :
HUB : MUHAMAD IPANGO
Telp / Hp : 021-7816369 / 0815 2363 9145 / 0816 160 5367
Simak Info Kesehatan di :